Uang Hasil Judi Apa Hukumnya
Hadis Nabi tentang Judi
Selain Al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan keharaman judi. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa berkata kepada kawannya, ‘Mari aku ajak kamu berjudi’, hendaklah dia bershadaqah!” (HR. Al-Bukhari, no. 4860; Muslim, no. 1647)
Hadis ini menekankan bahwa ajakan untuk berjudi harus dihindari, dan sebagai gantinya, disarankan untuk bersedekah.
Panduan bagi Umat Islam
Untuk menjaga diri dari praktik perjudian, umat Islam disarankan untuk:
Bermain judi adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam dengan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan hadis Nabi. Dampak negatifnya tidak hanya merusak moral dan mental, tetapi juga dapat menimbulkan konflik sosial dan kerusakan ekonomi. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita harus menjauhi praktik perjudian dan mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu berada di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
SERAMBINEWS.COM - Permainan online atau game online saat ini sedang merebak di tengah-tengah masyarakat.
Game online pun banyak digemari oleh kalangan pria, terutama dari mereka yang masih usia produktif.
Salah satu game online saat ini yang sedang digandrungi oleh masyarakat adalah Higgs Domino.
Bahkan game yang sedang viral ini telah membawa petaka bagi rumah tangga.
Dimana tiga orang istri di Aceh Besar mengugat cerai suaminya kerena terlalu sibuk dengan game Higgs Domino.
Terbaru, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menilai kegandrungan masyarakat Aceh lintas usia terhadap game Higgs Domino sudah cukup meresahkan.
Game tersebut tidak hanya sekedar permainan mengisi waktu senggang, tetapi juga telah menjadi ajang tempat mencari uang.
Baca juga: Judi Game Chip Domino Marak di Aceh Besar, Satpol PP Kesulitan Memberantasnya, Mengapa?
Baca juga: DPRK & MPU Bahas Maraknya Praktik Judi di Game Online, Dewan Duga Ada Kaitan dengan Belajar Daring
Peluang mendapatkan uang dari jual beli chip inilah yang kemudian membuat game ini menjadi sangat populer.
Namun bagaimana pandangan Abu Sheikh Haji Hasanoel Bashry atau yang akrab disapa Abu Mudi, terkait Game online ini?
Dalam Akun Youtube MUDI TV, seorang jamaah bertanya mengenai penggunaan uang dari hasil bermain game online.
“Apa boleh penggunaan uang dari hasil hadiah permainan game online? Kalau boleh apa hukumnya?” bunyi pertanyaan tersebut.
Abu Mudi mengatakan bahwa, game online yang beredar dikalangan masyarakat harus dilakukan kajian terlebih dahulu.
“Perlu dikaji dulu, apakah permainan tersebut masuk dalam kategori judi. Ini seperti musang berbulu ayam,” ujar Abu Mudi.
Abu Mudi mengatakan bahwa, uang yang didapatkan dari game yang dimainkan secara mudah dan tanpa banyak mengeluarkan modal adalah judi.
Baca juga: Pengantar Makanan Dipukuli Pelanggan, Karena Tidak Puas Makanan tak Diantar ke Depan Pintu
Baca juga: Parah! Gara-gara Game Chip Domino, Suami Utang ke Mertua dan Rekayasa Perampokan, Istri Gugat Cerai
“Kalau game tersebut adalah permainan yang menghasilkan uang secara mudah, tanpa berpayah-payah, tanpa banyak modal, itu judi,” tegasnya.
Abu Mudi menegaskan bahwa, Allah SWT telah mengharamkan judi atau maysir dalam Al-qur’an.
Jadi, pandangan Abu Mudi, seseorang yang menerima dan menggunakan uang dari hadiah game online adalah haram dan tidak boleh dilakukan.
Baca juga: Viral Video Warga Ambil Sesuatu di Semak-Semak, Warganet Sangka Bayi Dibuang, Ternyata Bukan
Pandangan Wakil Ketua MPU Aceh
Senada dengan pendapat Abu Mudi, wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pun mengatakan game online Higgs Domino adalah haram dan bagian dari judi.
Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali atau akrab disapa Lem Faisal atau Abu Sibreh, mengatakan, Higgs Domino adalah judi online yang membuat para penggemarnya ketagihan.
Baca juga: Dari Jual Ayam dan Bebek untuk Beli Chip hingga Digugat Cerai Istri
"Sama seperti judi online, kalau kita lihat ciri-cirinya, pemainnya terus mencari cara untuk bisa main. Untuk bisa main lagi kan harus ada chip, menang dapat chip itu lagi," kata Lem Faisal.
“Semua pemain dibuat ketagihan, kalah beli lagi, kalau menang nanti jual," ujarnya.
Lem Faisal menegaskan, jual beli chip pada game Higgs Domino tersebut adalah haram.
"Penghasilan itu haram, (uang hasil) penjualan chip itu haram dimakan. Jualnya haram, belinya pun haram," pungkasnya.
Baca juga: 4 Khasiat Labu Kuning untuk Anti Diabetes
Lantas bagaimana jika seseorang membeli hanya sekedar untuk bermain tanpa rencana menjual lagi?
Lem Faisal menegaskan bahwa itu juga haram.
"Karena sudah ada transaksi jual beli barang yang haram di sana. Unsur keharaman itu ada di chipnya, makanya tetap haram," tegasnya.
Baca juga: Gawat! Demam Higgs Domino Rambah Pedalaman, Warga Asyik Main Game di Warkop Sampai Lupa Pulang
Lem Faisal mengingatkan, sesuatu yang dinikmati dari sesuatu yang haram, maka menurut ajaran Islam hukumnya haram.
"Kalau tumbuh daging kita dari sesuatu yang haram, tempat kita di neraka kata Rasulullah," ujar Lem Faisal.
Demikian juga ketika seseorang hanya sekedar bermain game tanpa melakukan jual beli chip, itu pun menurut Lem Faisal tergolong haram karena Higgs Domino tersebut merugikan para penggemarnya.
"Jadi kita lihat ciri-cirinya yang merugikan, rugi harta, rugi waktu, lalai," imbuh Wakil Ketua MPU Aceh ini. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Baca juga: Curhatan Wanita Berselingkuh dengan Bos Demi Naik Jabatan: Saya Merayunya dan Menipu Suamiku
Arina.id ~ Guna mendulang suara pemilih, ada berbagai strategi yang digunakan para calon pemimpin yang turut dalam kontestasi politik elektoral. Mulai dari mengaktifkan jaringan sosial, struktur partai politik, atau membangun popularitas melalui media. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa potensi keterpilihan harus juga didukung modal finansial dengan jumlah besar.
Besarnya modal finansial tentunya digunakan sebagai sarana meraih suara dukungan. Sehingga, mudah sekali kita temui ketika mendekati hari pemilihan sebagai besar caleg, kader, maupun simpatisan partai getol membagi-bagikan uang, kaos, sembako dan lain sebagainya kepada masyarakat. Lantas bagaimanakah hukum memberi dan menerima uang ataupun kaos tersebut dalam tinjauan syariat?
Menanggapi fenomena demikian, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) menjelaskan bahwa pada dasarnya unsur pemberian yang diberikan oleh seseorang tidak akan terlepas dari suatu motif atau tujuan. Diantaranya ialah pemberian yang bertujuan untuk memikat hati, akan tetapi di balik itu terdapat tujuan lain yang ingin dicapai yakni jalan untuk memuluskan tujuannya:
اَلْخَامِسُ أَنْ يَطْلَبَ التَّقَرُّبَ إِلَى قَلْبِهِ وَتَحْصِيْلُ مَحَبَّتِهِ لاَ لِمَحَبَّتِهِ وَلاَ لِلأَنْسِ بِهِ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ أَنْسٌ فَقَطْ بَلْ لِيَتَوَصَّلَ بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرَاضٍ لَهُ يَنْحَصِرُ جِنْسُهَا وَاِنْ لَمْ يَنْحَصِرْ عَيْنُهَا وَكَانَ لَوْلاَ جَاهُهُ وَحَشْمَتُهُ لَكَانَ لاَ يَهْدِيْ إِلَيْهِ فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ لأَجْلِ عِلْمٍ أَوْ نَسَبٍ فَالأَمْرُ فِيْهِ أَخَفُّ وَأَخْذُهُ مَكْرُوْهٌ فَإِنَّ فِيْهِ مُشَابَهَةُ الرِّشْوَةِ وَلَكِنَّهَا هَدِيَّةً فِي ظَاهِرِهَا، فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ بِوِلايَةٍ تَوَلاَهَا مِنْ قَضَاءٍ أَوْ عَمَلٍ أَوْ وِلاَيَةِ صَدَقَةٍ أَوْ جِبَايَةِ مَالٍ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ السُّلْطَانِيَّةِ حَتَّى وِلايَةَ الأَوْقَافِ مَثَلًا وَكَانَ لَوْلاَ تِلْكَ الْوِلايَةُ لَكَانَ لاَ يَهْدِيْ إِلَيْهِ فَهَذِهِ رِشْوَةٌ عُرِضَتْ فِيْ مَعْرَضِ الْهَدِيَّةِ إِذِ الْقَصْدُ بِهَا فِىْ الْحَالِ طَلَبُ التَّقَرُّبِ وَاكْتِسَابِ الْمَحَبَّةِ
Artinya: “Kelima, pemberian yang bertujuan untuk memikat hati namun di balik itu ada tujuan lain yang ingin dicapai melalui status penerimanya. Dimana status tersebut merupakan jalan untuk memuluskan tujuannya. Pemberian semacam ini perlu dipilah, jika status tersebut terkait keilmuan atau kasta keturunan maka menerima pemberian itu hukumnya makruh. Sebab, kendati bukan termasuk suap, namun memiliki unsur kemiripan meski yang tampak berupa hadiah. Apabila status tersebut berkenaan dengan kekuasaan atau jabatan kenegaraan, yaitu bila jabatan tersebut tidak dimiliki niscaya dia tetap akan menerima pemberiannya, maka hukum menerima pemberian semacam ini dikategorikan sebagai suap dengan kedok hadiah, sebab tujuannya ialah agar dekat dan menarik simpati.” (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol. 2, h. 155).
Merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, maka jika memang pemberian tersebut diberikan hanya sekadar untuk menarik simpati masyarakat, maka hukumnya diperbolehkan. Dan bagi penerima boleh menerimanya, namun hukumnya makruh.
Kendati demikian, jika tujuannya agar dipilih dan terdapat perjanjian yang bersifat mengikat maka termasuk kategori suap (risywah). Dan hukumnya tidak diperbolehkan untuk memberikan serta menerimanya sebab termasuk membantu tindakan maksiat (i’anah ala maksiat).
Larangan praktik suap-menyuap itu disinggung dalam salah satu redaksi hadis yang berbunyi:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
Artinya: “Allah Swt. melaknat pemberi suap dan yang menerima suap dalam hukum.” (H.R. Ahmad)
Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H), suap atau risywah didefinisikan dengan memberikan sesuatu yang diperuntukkan bagi seorang hakim (qadhi) agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar:
وَقَبُوْلُ الرِّشْوَةِ حَرَامٌ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِيْ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنَ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَإِعْطَاؤُهَا كَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَّةٍ أَمَّا لَوْ رَشِيَ لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ جَازَ الدَّفْعُ وَإِنْ كَانَ يَحْرُمُ عَلَى الْقَاضِيٍ الْأَخْذُ عَلَى الْحُكْمِ مُطْلَقًا
Artinya: “Menerima suap haram hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat. Adapun bilamana menyuap dalam rangka menetapkan hukum yang benar maka di perbolehkan untuk memberikannya, meski tetap diharamkan bagi qadhi untuk mengambilnya berdasarkan keputusan hukum yang ia tetapkan secara mutlak.” (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al-Mubtadiin [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 1, h. 370)
Adapun mengenai perbedaan istilah suap (risywah) dan hadiah, Imam Ar-Rafi’i (wafat 623 H) memaparkan dalam kitab Syarh Al-Kabir:
وَإِذَا عَرَفْنَا أَنَّ قَوْلَ الرِّشْوَةِ حَرَامًا مُطْلَقًا وَقَبُوْلَ الْهَدِيَّةِ جَائِزٌ فِى بَعْضِ الأَحْوَالِ طَلَبْتُ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا وَقُلْتُ بَاذِلُ الْمَالِ رَاضٍ فِيْهِمَا جَمِيْعًا تُمُيِّزَ بَيْنَهُمَا وَالَّذِي وَجَدْتُهُ فىِ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا شَيْئَانِ أَحَدُهُمَا فِى كَلامِ الْقَاضِي اِبْنِ كَجٍ أَنَّ الرِّشْوَةَ هِيَ الَّتِى يُشْتَرَطُ عَلَى بَاذِلِهَا الْحُكْمُ بِغَيْرِ الْحَقِّ اَوِ الإِمْتِنَاعِ عَنِ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَالْهَدِيَّةُ هِىَ الْعَطِيَّةُ الْمُطْلَقَةُ وَالثَّانِي قَالَ الْمُصَنِّفُ فِى الإِحْيَاءِ الْمَالُ إِمَّا أَنْ يُبْذَلَ لِغَرْضٍ آجِلٍ أَوْ عَمَلٍ... وَأَمَّا التَّقَرُّبُ وَالتَّوَدُّدُ إِلَى الْهَدِيَّةِ إِلَيْهِ وَذَلِكَ إِمَّا أَنْ يَطْلُبَ لِنَفْسِهِ فَهُوَ هَدِيَّةٌ أَوْ يَتَوَسَّلً بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرِاضٍ وَمَقَاصِدَ فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ الْعِلْمَ أَوْ بِالنَّسَبِ فَهُوَ هَدِيَّةٌ وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ وَالْعَمَلِ فَهُوَ رِشْوَةٌ
Artinya: “Telah dijelaskan bahwa suap hukumnya haram secara mutlak sedangkan hadiah diperbolehkan dalam sebagian kondisi. Dari sini perlu dibedakan antara suap dan hadiah. Perbedaan keduanya ditinjau dari dua sisi: Pertama, dikatakan oleh Ibn Kajin bahwa suap adalah pemberian yang disyaratkan dalam penerimaannya untuk menetapkan hukum yang tidak benar atau pemberi terbebas dari tuntutan hukum yang benar. Sedangkan hadiah adalah pemberian semata. Kedua, dikatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya harta-benda adakalanya diberikan untuk tujuan jangka panjang, dan adakalanya diberikan untuk tujuan jangka pendek… Adakalanya harta-benda diberikan untuk mendekati atau meraih simpati dari orang yang diberi. Bila hal itu sebatas kedekatan pribadi maka disebut hadiah. Bila dimanfaatkan untuk meraih tujuan tertentu lewat kedudukan orang yang diberi lantaran ilmu atau nasabnya maka disebut hadiah, dan apabila dimanfaatkan lewat orang yang menyandang kedudukan sebagai hakim ataupun pejabat maka disebut suap.” (Abdul Karim bin Muhammad Abu Al-Qasim Ar-Rafi’i, Al-Aziz Syarh Al-Wajiz [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiah], vol. 12, h. 468).
Berdasarkan referensi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum memberi serta menerima pemberian caleg dalam bentuk apa pun baik berupa uang, kaos, sembako dan hal lainnya diperinci sebagai berikut:
Demikian penjelasan mengenai hukum memberi dan menerima sesuatu dari para kontestan politik. Wallahu’alam Bisshawab.
Pangkalpinang (ANTARA) - Judi online digemari oleh banyak orang karena keuntungan finansial yang diharapkan bisa diraih dengan mudah tanpa bersusah-payah. Meski tentu, kalah dalam judi online juga merupakan keniscayaan nyata dan tidak bisa dihindari, yang bisa membawa kerugian terhadap para pemainnya. Keberuntungan dalam judi tidak selalu menjamin keberhasilan jangka panjang. Kendati demikian, keuntungan yang diraih oleh pemenang dalam praktik ini tidak hanya digunakan untuk makan. Banyak dari mereka yang menggunakannya untuk melunasi utang dan lain sebagainya. Dikutip dari laman NU Online, lantas bagaimana sebenarnya hukum membayar utang dengan uang hasil dari judi online? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui bahwa judi baik online maupun secara offline tidak dibenarkan dalam Islam. Dengan demikian, orang-orang yang terlibat dalam judi terjerumus dalam perbuatan yang terlarang. Larangan ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban) untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Ma’idah: 90). Dari ayat diketahui bahwa judi hukumnya haram, dan uang yang didapatkan dari praktik tersebut juga haram karena diperoleh dari cara yang dilarang dalam Islam. Sebab itu, menggunakan uang tersebut juga diharamkan. Larangan ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ Artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188). Syekh Sulaiman bin Umar As-Syafi’i menjelaskan, kata al-bathil pada ayat adalah semua praktik yang dihasilkan dari cara-cara yang haram. Di antaranya adalah mencuri, ghasab, merampok, judi, suap-menyuap, dan lainnya.” (Sulaiman Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz I, halaman 227). Hukum bayar utang dari hasil judi online dengan demikian, uang yang dihasilkan dari judi online adalah haram. Barang haram sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sa’duddin At-Taftazani (wafat 793 H) terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) haram karena esensinya (dzatiyah), seperti bangkai dan khamar; dan (2) haram karena faktor lain, seperti harta orang lain yang didapatkan dengan cara yang haram. Faktor kedua ini, barangnya merupakan barang halal, hanya saja karena didapatkan dengan cara yang haram, maka menjadikannya sebagai barang haram pula. Keharamannya juga karena disebabkan barang tersebut bukan menjadi miliknya, namun tetap menjadi milik pemilik aslinya. Karenanya ia tidak boleh menggunakannya untuk makan dan lainnya. وَالثَّانِي مَا يَكُوْنُ مَنْشَأُ الْحُرْمَةِ غَيْرَ ذَلِكَ الْمَحَلِّ كَحُرْمَةِ أَكْلِ مَالِ الْغَيْرِ فَإِنَّهَا لَيْسَتْ لِنَفْسِ ذَلِكَ الْمَالِ بَلْ لِكَوْنِهِ مِلْكَ الْغَيْرِ Artinya, “Kedua, yaitu barang yang penyebab haramnya selain esensi (barang) tersebut, seperti keharaman memakan harta orang lain, karena sesungguhnya (keharaman tersebut) bukan karena esensi barangnya, namun karena milik orang lain.” (At-Taftazani, Syarhut Talwih ‘alat Taudhih li Matnit Tanqih fi ushulil Fiqh, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1996], juz II, halaman 263). Karena harta haram masih menjadi milik pemiliknya yang asli, maka menggunakannya tidak diperbolehkan. Termasuk juga menggunakannya untuk membayar utang sebagaimana kasus-kasus yang umum terjadi saat ini, yang mana hasil judi online digunakan untuk membayar utang. Tidak hanya itu, semua akad atau transaksi yang dilakukan dengan cara yang rusak (fasid), hasilnya pun tidak halal, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak boleh menggunakan barang yang diraih dari transaksi yang cacat tersebut. Bahkan ia wajib mengembalikan uang yang didapatkan kepada pemilik aslinya. Berkaitan hal ini, Imam Syihabuddin Ar-Ramli (wafat 957 H) dalam kitabnya mengatakan: سُئِلَ: هَلْ الْمَأْخُوذُ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ مَعَ رِضَا الْمُتَبَايِعَيْنِ حَلَالٌ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: بِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْآخِذِ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهِ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا رَدُّ مَا أَخَذَهُ عَلَى مَالِكِهِ Artinya, “(Imam Ar-Ramli) ditanya: "Apakah barang yang didapatkan dari transaksi yang rusak dengan kerelaan dari kedua pihak dihukumi halal atau tidak?" Lalu ia menjawab: "Sesungguhnya tidak halal bagi orang yang mendapatkannya untuk menggunakannya, karena wajib bagi keduanya mengembalikan apa yang telah ia dapatkan kepada pemiliknya".” (Ar-Ramli, Fatawar Ramli, [Maktabah al-Islamiyah: tt], juz II, halaman 470). Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa membayar utang menggunakan uang hasil judi online, sebagaimana marak terjadi saat ini, hukum tidak diperbolehkan. Karena status uang bukan menjadi hak miliknya yang halal, sehingga ia tidak berhak menggunakannya untuk apapun. Jika sudah terlanjur terjadi, lantas bagaimana hukum menerimanya? menerima bayaran utang dari hasil judi hanya membahas hukum membayar utang dengan uang hasil judi saja rasanya belum lengkap jika tidak membahas hukum menerima uang dari hasil judi. Sebab, kendati pun uang ini haram dan tidak boleh digunakan untuk membayar utang, masih saja banyak orang yang melakukannya. Lantas bagaimana hukum menerima uang tersebut? Merujuk penjelasan Syekh Abu Bakar Syatta Ad-Dimyathi, menerima harta dari orang yang hartanya bercampuran antara halal dan haram hukumnya makruh, dan tidak haram. Namun jika penerima benar-benar tahu bahwa keseluruhan uangnya adalah nyata dari hasil yang haram, maka hukum menerimanya juga haram. (Syatta Ad-Dimyathi, Hasyiyatu I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1997], juz II, halaman 405). Hukum penjelasan dapat disimpulkan, membayar utang dengan uang hasil judi adalah tidak diperbolehkan. Sedangkan hukum menerimanya adalah diperinci, yaitu: (1) jika tidak tahu bahwa uang itu benar-benar dari praktik judi, maka hukumnya makruh; dan (2) jika tahu bahwa uang tersebut dari judi, maka hukumnya haram.
Game Menghasilkan Uang
Memang ada game yang boleh, namun harus mempunyai syarat tidak mengandung unsur pornografi, kekerasan, pelecehan, rasis, perjudian, dsb. Juga tidak melalaikan pelakunya dari mengingat Allah Subhãnahu wata’ala.
Namun pada umumnya game yang beredar saat ini yang bersifat online dan bisa menghasilkan uang bagi pelakunya, adalah termasuk yang dilarang dalam Islam. Karena pelakunya harus top up uang atau saldo lalu ia berspekulasi untuk bisa menang & mendapatkan hadiah. Namun jika kalah, maka uangnya hangus. Inilah yang menjatuhkan kepada perjudian atau maisir.
Allah Subhãnahu wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {سورة المائدة: ٩٠}
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” {Q.S. Al-Maidah: 90}
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Dijawab oleh Ustadz Very Setiawan.
#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHK News]
Bermain judi telah menjadi topik perdebatan di berbagai kalangan. Dalam Islam, perjudian dikenal sebagai “maisir” dan dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum bermain judi dalam Islam, dampaknya, serta panduan bagi umat Muslim untuk menjauhinya.
Pengertian Judi dalam Islam
Judi, atau “maisir” dalam bahasa Arab, adalah aktivitas pertaruhan di mana seseorang mempertaruhkan harta atau barang dengan harapan memperoleh keuntungan tanpa usaha yang sah. Praktik ini sering kali melibatkan permainan seperti dadu, kartu, atau taruhan lainnya yang hasilnya tidak dapat diprediksi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Seiring dengan maraknya judi online, tentu memunculkan beragam pertanyaan terkait. Salah satunya adalah apa hukum menikmati hasil dari judi online?
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda menekankan, dalam syariat Islam, judi merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dan haram hukumnya.
Penjelasan terkait dengan larangan berjudi itu berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah [50] ayat 90:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menyampaikan bahwa judi merupakan salah satu perbuatan yang keji dan termasuk perbuatan setan. Allah SWT juga memberikan perintah kepada umatnya untuk menjauhi perbuatan tersebut agar beruntung.
"Ayat ini secara tegas menjelaskan keharaman beberapa perbuatan yaitu minuman keras (khamr), berjudi (maisir), (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib. Bahkan secara tegas di akhir ayat Allah SWT memerintahkan kita untuk menjauhi empat perbuatan tersebut," kata Kiai Miftah, begitu akrab disapa, dikutip dari laman resmi MUI, Jumat (21/6/2024).
Kiai Miftah menegaskan, hal ini menjadi isyarat bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar yang sangat berbahaya dan sangat besar dampak mudaratnya.
Khusus terkait judi, kata Kiai Miftah, dampak mudaratnya sangat luar biasa di antaranya: memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan.
Selain itu, judi membuat seseorang menjadi malas mengerjakan ibadah serta jenuh hatinya dari mengingat Allah SWT.
"Selain membentuk tabiat yang jahat, berjudi dapat memicu seseorang jadi pemalas dan pemarah," kata dia menambahkan.
Kiai Miftah menekankan, judi juga dapat menyebabkan kemiskinan dan merusak hubungan rumah tangga. Hal ini akibat keinginan memenuhi nafsu untuk bermain judi, seseorang akan dipertaruhkan harta yang dimilikinya.
"Pada akhirnya dia melupakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Bahkan bagi penjudi berat terkadang dapat mempertaruhkan anak dan istrinya," kata dia.
Permainan judi ini dianggap sebagai perbuatan haram dalam Islam. Hal ini karena permainan judi termasuk dalam kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian.
Lalu bagaimana hukum menghidupi keluarga dengan harta hasil perjudian?
Kiai Miftah mengatakan, jika seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan istri) telah mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah, maka hal itu wajib ditinggalkan, artinya jangan dimakan.
"Sebab, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut," tuturnya.
Kiai Miftah menerangkan, darah yang mengalir dalam tubuh dari hasil sesuatu yang haram maka akan membentuk tubuh, jiwa dan tabiat yang tidak baik.
DDHK.ORG – Main game yang menghasilkan uang, Apa hukumnya?
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz, mau bertanya. Apa hukum main game yang bisa menghasilkan uang?
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Bismillah… Hukum asal segala sesuatu seperti muamalah adalah boleh selagi tidak ada dalil yang melarangnya. Senada dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Namun jika sesuatu tersebut mengandung unsur yang haram, maka hukumnya menjadi haram. Misal jual beli itu boleh, namun jika yang dijual adalah babi, maka jual beli tersebut menjadi haram. Begitu pula dengan bermain game (permainan), hukum asalnya adalah boleh, namun jika mengandung unsur yang haram, maka haramlah hukumnya. Misal bermain game yang mengandung unsur perjudian.
Perlu diingat, bermain game yang halal pun bisa terjerumus pada hal yang haram jika pelakunya sampai lalai dan lupa waktu hingga tidak mengerjakan sholat dan lupa mengingat Allah. Karena salah satu ciri-ciri orang-orang beriman adalah meninggalkan hal-hal yang sia-sia & tidak berguna.
Allah Subhãnahu wata’ala berfirman:
وَٱلَّذِینَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ {سورة المؤمنون: ٣}
“Dan orang orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan & perkataan) yang tidak berguna.” {Q.S. Al-Mukminun: 3}
Rasulullah shallallãhu alaihi wasallam juga bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ (رواه الترمذي)
“Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (H.R. Tirmidzi)
Dampak Negatif Bermain Judi
Bermain judi tidak hanya dilarang dalam Islam, tetapi juga memiliki dampak negatif yang signifikan, antara lain:
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu.” (QS. Al-Maidah: 91)
Dalil Al-Qur’an tentang Larangan Judi
Allah SWT secara tegas mengharamkan perjudian dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Maidah ayat 90, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)
Ayat ini menunjukkan bahwa perjudian digolongkan sebagai perbuatan syaitan yang harus dijauhi oleh umat Islam.